Rabu, 08 Desember 2010

Surat Kedua ....'Perjumpaan'

Ali atau Fatimah, kau tau kami punya banyak harapan untukmu dan keluarga kita kelak ketika kau lahir maka izinkanlah aku menuliskannya hanya untuk sekedar kau jadikan pelajaran walau mungkin tidak lagi sesuai dengan zamanmu.

Ananda Ali atau Fatimah, pada bagian awal surat ini aku ingin berkisah tentang ibumu agar kelak kau bisa tau bagaimana dia dan siapa sebenarnya dia yang aku kenal. Ali atau Fatimah ibumu adalah gadis pemilik mata yang indah dan senyum yang manis. Aku mengenalnya lima tahun lalu tepatnya disekitar tahun 2005, di kampus kami ketika sama-sama kuliah di fakultas Sospol Universitas Hasanuddin. Sebuah fakultas yang jauh dari kesan mewah dan terkenal, apalagi tempatnya orang berdasi.

Ibumu kuliah di Jurusan Ilmu Politik sedangkan Aku kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi.Aku mengenal ibumu dari sebuah perjumpaan tidak disengaja. Ketika itu aku sedang duduk di koridor bawah Fispol diantara ruang-ruang kuliah yeng berderet panjang. Waktu itu aku ingat betul sekitar jam dua siang, aku sedang berbincang dengan seorang kawanku yang kebetulan senior ibumu. Namanya Icoel aku tak tau nama sebenarnya, semoga kelak kau bertemu denganya dan menimba ilmu darinya. Ketika sedang asik berdiskusi dengan kawanku itu, ibumu melintas dan tersenyum, tentunya bukan kepadaku namun kepada seniornya.
Kau tau anakku aku seperti patung saat itu hanya bisa terdiam menyaksikan ibumu melintas.
Dengan berbisik aku berkata pada icoel, 'siapa itu' ?
Dia tertawa terbahak-bahak melihat wajahku yang mungkin memerah saat itu.
yang mana, kanan atau kiri ?
Kebetulan ibumu saat itu melintas bersama sahabatnya,namanya Sukma.
yang kiri kataku,
oh itu namanya endang, anak bone sudahlah dia anggota dari sebuah gerakan islam yang tidak mungkin menerima konsep pacaran.

aku hanya bisa diam saat itu. Sembari termenung, bukankah aku juga sedang giat-giatnya di sebuah organisasi islam? Toh aku bukan hendak sekedar bermain-main, ini soal cinta coel!

namun kata-kata itu hanya aku simpan didalam hati tanpa pernah diketahui kawanku icoel sampai beberapa bulan kemudian.

Perjumpaan itu membekas sekali anakku, dan aku tak kuasa melepaskan wajah gadis itu, aku jatuh cinta dipandangan pertama, seperti kisah di sinetron dan film-film india. Perasaan itu begitu menyiksa, aku sungguh jatuh cinta bukan sekedar tertarik pada wanita. Aku berkata dalam hati kelak wanita itu akan menjadi madrasah dari anak-anaku!

Beberapa bulan kemudian saat itu aku sedang bercengkrama dengan beberapa kawan sejurusan, yang aku ingat salah satunya adalah jun teman seangkatan kuliahku.Kami sedang menikmati kopi disore hari di baruga Patterani sebuah gedung pertemuan yang terbesar dikampus kami. Tiba-tiba mataku menangkap sosok gadis yang aku tanyakan pada icoel beberapa pekan yang lalu. Aku berkata pada Jun.
"Lihat gadis itu, maniskan" ?
kawanku itu tertawa sama seperti icoel,
kenapa tertawa ? tanyaku bingung pada jun
"sudahlah, kalau kau berani mendekatinya itu baru laki-laki"!
oke, lihat saja nanti.
dengan semangat aku beranjak dari jun dan dengan keberanian yang dipaksakan menuju ibumu yang saat itu sedang serius membaca buku dibawah rindangnya pohon disekitar baruga.

Lagi baca buku apa ? tanyaku basa-basi ( gombal khas para senior dikampusku!)
Dia hanya mengangkat wajahnya sedikit, sembari menghujani aku dengan matanya yang penuh curiga.Tapi itulah ibumu, dia selalu saja tersenyum.

Antara panik dan senang aku melanjutkan, saya juga punya buku bagus judulnya catatan sang demonstran yang ditulis SoeHokGie seorang aktivis mahasiswa angkatan 66 yang menjadi referensi gerakan mahasiswa dan menjadi bacaan wajib mahasiswa baru. Aku terus saja bicara, sebenarnya untuk menutupi kegugupanku sekaligus bisa melanjutkan pembicaraan (tepatnya bikin kagum).

lagi-lagi dia hanya tersenyum dan kembali menekuni bacaanya.
aku semakin panik saja. kutengok kebelakang kulihat jun tertawa, seolah tau penolakan yang terjadi.
Tapi bukan anak komunikasi kalau tak dapat memulai perbincangan kataku dalam hati.
baiklah, kalau saya mengangu kita yang sedang asik membaca saya pamit saja. ( ini jurus terakhir untuk memohon iba)

Tidak apa-apa kak rahmad,
astaga dia tau namaku. ingin rasanya aku berteriak dan melompat saking senangnya. Dengan segala upaya aku berusaha mengontrol rasa senangku kala itu.
Tau darimana nama saya ?
lagi-lagi dia hanya tersenyum,
oh lagi baca buku delia noer yah. bagus buku itu tentang reparasi sistim politik indonesia. Lagi-lagi sok tau untuk memulai pembicaraan.
iyah, terus bisa ceritakan tentang SoeHokGie? katanya kali ini buku Delia Noernya sudah ditutup dan memandangku lurus.
huh..., akhirnya aku bisa menarik nafas panjang. Setidaknya ketika seseorang sudah memulai kontak komunikasinya itu merupakan petanda interaksi yang baik, setidaknya itu yang dapat aku pelajari.
SoeHok Gie itu bla...bla...bla aku menjelaskan dengan panjang lebar dan dia menyimakku secara serius entahlah memang serius atau sekedar aneh saja melihatku yang kelewat PD.
Beberapa menit selanjutnya aku terus berbicara sambil menanti waktu yang tepat. sampai akhirnya dengan penuh percaya diri aku mengambil buku yang dipegangnya dan membuka sampul belakangnya yang putih polos dan menuliskan sebuah petikan kalimat puisi Gie yang terkenal :

“manisku, aku akan jalan terus
membawa kenangan-kenangan dan harapan-harapan
bersama hidup yang begitu biru”

Dia diam dan aku juga diam. Sementara aku dengar jun dibelakang sana tertawa dan bertepuk tangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar