Nak, sudah lama rasanya aku tidak menonton sebuah film yang mampu menginsiparasi bawah sadarku sampai aku menonton film "3 idiot" hari ini. Film yang berdurasi hampir tiga jam ini, mampu mengetuk nurani kesadaranku tentang kehidupan yang tanpa sadar telah membuatku memaksakan diri untuk menyenangi pilihan yang sama sekali aku tak berbakat untuk itu.
Film ini menampar nurani kesadaranku tentang pilihan yang telah kuambil yang dapat dipastikan tidak akan membuatku bahagia. Seperti kisah seorang mahasiswa, Farhan, yang mencitai fotografer namun oleh orang tuanya dipaksa untuk menjadi seorang insiyur, atau kisah ketakutan tentang kemiskinan yang menimpa keluarga Raju membuatnya tidak berani untuk melanggar aturan yang ditimpakan kepadanya, sehingga ia tidak berani untuk menentang nasib. Itulah aku! Aku menyenangi buku, menikmati berdiri di depan kelas menyakiskan setiap orang memandangku sambil menantikan setiap bait kata yang hendak ku ucapkan. Berdebat dengan guru tata negara dan dengan sedikit keberanian aku maju ke depan dan menggantikannya mengajar di depan teman-teman kelasku saat SMU. Sejak kecil aku selalu bermimpi mempersembahkan gelar kepada almarhum Ayahku yang selalu berkata ,"Kelak nak, kau adalah harapan ayah untuk sekolah, belajarlah terus jangan pernah menyerah pada nasib !" atau kata almarhum ibuku,"Anakku ini kelak dia akan sangat pandai menjelaskan di depan orang banyak". Ah sialan, mengapa air mata ini mesti keluar lagi!
Kali ini aku berusaha menulis dengan hatiku, tentang kegelisahan atas berbagai perjalanan ini yang membuatku semakin kelelahan. Aku lelah Tuhan berkompromi dengan arus nasib untuk menjalani yang tidak aku sukai. Saat berangkat kuliah dulu, saat itu kuburan ibuku belum lagi kering ketika panggilan bebas tes untuk universitas tempatku kuliah memangilku. Bus malam yang mengantarkanku pada nasib seolah terus bertasbih memaksakan diriku hijrah ke-kota lain, meningalkan segala kesedihan yang baru saja ditimpakan kepadaku, kesedihan ketika beberapa bulan lalu ayahku meningal, kakak keduaku juga pergi menuju Tuhan dan Ibuku tiga hari sebelumnya berangkat menuju Tuhan. Sejak itu aku berkata pada diriku tak ada lagi yang perlu ditakutkan, aku harus berhasil menyelesaikan kuliah dengan terhormat biar dunia tahu bahwa inilah anak yatim-piatu miskin dari kampungnya dapat menyelesaikan pendidikan dengan kedua tanganya. Dan akhirnya masa itu tiba, ketika ramah tamah fakultas tempatku kuliah memangil namaku sebagai Lulusan Terbaik ! Lihatlah dunia inilah putra langit itu.....
Setelah selesai kuliah, aku kemudian berubah menjadi pengecut kembali mencoba memilih menjadi realistis tentang hidup. Sebuah tawaran memaksaku untuk berpikir dengan logika umum untuk menerima segala bentuk kemapanan yang ditawarkan dengan menjadi seorang PNS di kampungku. Sudah setahun aku memaksakan diri menikmatinya dengan berbagai dalih seolah-olah aku bahagia sampai akhirnya Rancho mengajarkan sebuah hal , "Apakah kita tidak akan menyesal ketika usia kita dibumi akan segera berakhir , ambulans terakhir datang membawa kabar akhir hidup kita, dan akhirnya kita hanya dapat berujar andaikan aku bisa menikmati hidupku dengan pilihan yang harusnya aku pilih dan aku senangi!"Ah, kalimat yang begitu indah.
Aku begitu cinta pada buku dan selalu berharap bahwa kelak akan menuliskan pikiran-pikiranku menjadi sesuatu yang bermakna bagi orang banyak. Aku mencintai aroma kelas, menatap mata-mata yang selalu dahaga atas pengetahuan sembari merasakan betapa nikmatnya menjadi seorang guru, aku mencintai kebebasan berpikir dan senantiasa berharap ada yang mendebati pikiran-pikiranku.aku bukanlah mesin yang digerakkan oleh sistem birokrasi, mengetik pidato pejabat sembari belajar adimistrasi pembangunan sebuah kota. Aku bukan menjadi diriku disetiap apel pagi berbaris sembari mengangguk seolah-olah mengerti apa yang dikatakan penerima apel.
Itu bukan diriku wahai Saudara, aku senantiasa tertarik pada narasi pengetahuan mendebatinya sembari merenung apa yang bisa aku lakukan untuk mengubah dunia. Ah, hari ini aku sadar betapa bodohnya aku membuang waktu untuk sesuatu yang tidak aku cintai. Dalam catatan harianku aku sudah menuliskan kelak di umur 30 tahun aku mesti menjadi doktor agar ayah dan ibuku bisa lapang dikuburnya.
Tuhan, kelak anakku akan kuberikan kesempatan untuk menjadi apapun yang ia mau, agar tidak seperti ayahnya yang terlalu pengecut akan hidupnya. Tak ada pekerjaan yang tidak baik sebenarnya namun apakah kita mencintainya atau tidak? Aku mencintai pengetahuan dan berharap bisa berbagi dengan itu, bukan mengurusi berbagai hal tentang adimistrasi. "3 Idiot" telah membangunkan kesadaran itu untuk tetap optimis bagi mimpi-mimpi kita, tidak ada yang tidak mungkin di bumi ini selama kita berani menjalani setiap mimpi dan berbagai rintangan di jalan yang kita lalui.
Kali ini aku berusaha berbicara dengan hatiku, bahwa sudah saatnya berkemas mengejar sesuatu yang tertinggal, tempatku di sini bersama mimpi-mimpiku, bukan di sana! Semoga Tuhan berbaik hati kali ini....
Makassar, 6 Mei 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar